Infometafisik - Sejak mama meninggal, papa yang tadinya berkarakter pribadi begitu baik, tiba-tiba berubah buruk. Belum tiga bulan mama dikubur, papa sudah terlibat affair dengan Nyonya Nasa, istri tetangga yang rumahnya hanya 100 meter dari rumah kami. Tapi perubahan prilaku itu sangat tak wajar...
Perkara “jatuh cinta” adalah hal yang manusiawi saja dan wajar terjadi. Sebagai duda, mungkin sudah sepantasnya bila kami mendukung papa agar menikah kembali. Untuk menghindari dosa, sudah seharusnya papa melepaskan prediket duda dan menikah. Tapi yang jadi masalah bagi kami, papa kok bisa-bisanya jatuh cinta pada istri orang yang anaknya sembilan dengan lima cucu. Affair ini bukan saja haram untuk didukung tapi juga harus ditentang hingga tetes darah penghabisan. Anehnya, Nyonya Nasa itu malah lebih agresif. Kegenitannya jauh melebihi sikap agresifitas papa kami. Dia memperhatikan papa melebihi perhatiannya pada suami sah nya, Pak Hamdun. Dan hal itu ditunjukkannya di muka umum tanpa ada rasa malu sedikitpun. Tidak segan-segan, tengah malam, Nyonya Nasa datang ke rumah dan tidur di kamar bersama papa hingga pagi.
Malu, ya kami semua malu menyaksikan kenyataan itu. Muka kami seakan dilempar kotoran manusia saat para tetangga mengetahui affair papa itu. Satu kompleks menjadi heboh dan orangtua kami tiba-tiba jadi bahan pembicaraan dan kembang gosip. Kuping kami tiba-tiba menjadi panas dan batin kami kontan menjerit. Kak Muti, kakak tertua saya dengan baik-baik mendatangi Nyonya Nasa dan meminta dia menghentikan hubungan itu. Kak Muti katakan bahwa kami sekeluarga terpukul dan malu Mulanya kami pikir dia akan malu lalu mengundurkan diri. Tapi jawabannya sungguh di luar dugaan. Dia bilang bahwa urusan hubungan itu adalah hak priadinya dan hak papaku. “Saya mau bercerai dan akan menikah dengan bapakmu. Tahu kau? Tidak ada urusannya dengan kau. Aku mau nikah sama bapak kau, bukan sama kau, paham?” tantang Bu Nasa.
Jantung Kak Muti bergetar hebat. Otaknya bergolak dan batinnya keluh menahan emosi yang menyentak. Karena rasa jengkel yang begitu tinggi, maka kata-kata Kak Muti tidak sedikitpun mampu keluar dari mulutnya. Tapi untunglah tangan Kak Muti tidak sampai melayang. Pasalnya Kak Muti mengerti hukum. Bila dia memukul, urusannya pasti polisi. Kak Muti akan terkena pasal penganiayaan. Pasal pidana akan menunggunya di peradilan kejahatan. Dengan langkah lunglai, Kak Muti meninggalkan Bu Nasa sambil berkata. “Kalau memang hal itu sudah menjadi sikap Ibu, terserah, Ibu sendiri yang akan menerima resikonya!” sentak Kak Muti, sambil berlalu.
Hari itu juga Kak Muti mendatangi anak Bu Nasa tertua, Tri Asmara, yang bekerja di Bank Mandiri Jalan Sudirman Jakarta. Dengan baik-baik Kak Muti menumpahkan keluh kesah dan membeberkan semua permasalahan itu. Tri sangat kooperatif dan menerima semua laporan yang disampaikan Kak Muti. Tapi ternyata, Tri sudah mengetahui kasus itu. Bahkan dia pernah menegur ibunya. Tapi memang Si Ibu keras kepala. Sang Ibu bukan sekadar marah, tapi malahe menantang Tri berantem karena Tri terlalu banyak campur tangan urusan pribadinya. “Semua adik-adik saya juga malu Mbak melihat tingkah laku ibu ini. Tapi mau apa dikata, Ibu malah lebih marah dan semua adik-adik saya dimusuhinya! Coba sekarang dibalik, Papamu yang diajak bicara, minta dia untuk meninggalkan ibuku!” imbuh Tri.
Seperti yang disarankan Tri, kami semua kumpul dan bicara sama Papa. Seperti juga prinsif Bu Nasa, papa kami juga ternyata bersikap keras untuk menikahi Bu Nasa. “Rumah tangganya bermasalah dan nampaknya tidak bisa dipertahankan lagi. Bu Nasa mau bercerai sama suaminya dan akan menikah sama papa!” kata Papa. Kami memberitahukan tentang gosip dan omongan minir tetangga soal hubungan itu, di mana kasus itu sampai membuat kami adik beradik menjadi malu. Kami meminta agar papa mencari perempuan lain saja yang jauh dari kompleks dan kami berjanji kami yang akan melamarkan. “Kalian anak-anak saya, kenapa kalian mengatur saya. Yang mengatur kalian itu adalah saya, bapak kalian, bukan sebaliknya. Ngerti?” bentak Papa dengan mata yang menyala-nyala. “Saya mau kawin sama siapa, itu urusan saya, bukan urusan kalian.Faham?” sentak Papa lagi. Mendengar bentakan itu kami semua menjadi diam, lalu pelan-pelan airmata kami menetes, kami ingta pada ibu kami yang sudah terkubur.
Kami bukan saja merasa aneh melihat perubahan sikap Papa, bahkan kami sangat bingung, mengapa watak dasarnya jadi l80 derajat berubah. Papa yang tadinya bijak, lembut dan sayang pada anak-anak, kok tiba-tiba jadi galak, bengis dan tempramental. Habis menangis, satu persatu kami bubar dan tinggallah ayah sendiri di ruang tamu. Namaun di kamar ku, Kak Muti mengumpulkan kami semua dan kami sepakat untuk pindah rumah. “Biarlah Papa sendiri dan menikmati kesenangan pribadinya. Kita keluar semua danm cari kontrakan, saya yang bayar!” kata Kak Muti. Mendengar rencana kami, Papa makain naik darah. Malah dia justru yang mengusir. “Pergilah kalian semua dari saya. Jangan ada satupun barang kalian di rumah ini. Pergi, pergi sekarang juga!” desak Papa, malam itu.
Pagi harinya kami berangkut. Semua barang-barang kami bawa dengan sebuah mobil truk milik Pak John, tetangga kompleks. Kami menyewa sebuah rumah yang kebetulan milik teman Kak Muti di daerah Bumi Serpong Damai, Tangerang. Dalam waktu satu hari penuh, semua meja, tempat tidur, pakaian terangkut semua. Papa hanya melihat dari jendela saat kami pergi meninggalkan rumah, saat semua barang telah terangkut ke dalam truk. Pada waktu truk berangkat dan mobil Kak Muti meninggalkan Papa dan rumah, Bu Nasa datang menemui Papa. Wajah Bu Nasa terlihat begitu gembira. Dia bahagia sekali kami pindah dan dia akan lebih bebas lagi bersama papa kami di rumah. “Tapi biarlah mereka bahagia di tengah penderitaan batin kita. Biarkanlah mereka puas dan menikmati dunia percintaan yang tidak senonoh itu. Kita jangan pikirkan lagi papa, pikirkanlah diri kita sendiri supaya kita masuk ke dalam dunia hari esok yang lebih baik!” bisik Kak Muti.
Setelah tiga bulan kami putus komunikasi dengan Papa, tiba-tiba Pak John datang membawa kabar memprihatinkan. Papa dan Bu Nasa digerebek warga bersama polisi dan tahan di Polsek dengan tuduhan berbuat amoral dan asusila di muka umum. Mereka ditangkap sedang sama-sama telanjang di dalam kamar dan penggerebekan itu dipimpin sendiri oleh suami Bu Nasa dan hari itu juga Bu Nasa diceraikan. Kak Muti meminta tidak ada satupun di antara kami yang boleh menjenguk Papa. Biarkanlah Papa menerima hukuman akibat perbuatan yang di luar batas kewajaran. “Kita ikhlaskan tentang apapun yang akan terjadi pada Papa, oke?” tanya Kak Muti, tak menuntut jawab.
Sebelum berkas perkara Papa dan Bu Nasa dikirim ke Kejaksaan Negeri, datang teman baik papa ketika muda, yang biasa kami panggil Aba. Aba yang bernama lengkap Habib Ahmad Husen Assegaf itu mendalami ilmu supranatural secara turun temurun. Mereka sekeluarga praktek menolong sesama dalam hal kebatinan. Aba sendiri hingga sekarang menjadi penasehat spiritual tiga orang menteri. “Papa kalian terkena Santet Benga, yaitu santet yang merusak otak kecilnya hingga hati nurani musnah seketika. Papa kalian butuh pertolongan gaib dan Aba sudah melakukan ritual pemusnahan effek dari santet yang jahat itu!” tegas Aba. Sebelum kami menjawab, Aba meneruskan ceritanya. Disebut pula, bahwa rasa kasih sayang, rasa rindu, rasa cinta pada anak-anak, kontan musnah dari batin papa kalian. “Ayah kalian itu jiwanya sangat tulus, bijak dan baik hati. Tapi sejak terkena santet itu, perubahan drastis terjadi karena otak kecilnya sudah dirajam oleh kekuatan jin kapir yang sangat jahat. Jin itu dikirim oleh seseorang yang menaruh iri pada ayah kalian. Orang itu sangat jahat karena otaknya dikuasai seratus iblis. Dia juga mengirim santet secara bersamaan pada Bu Nasa, tetangga sebelah rumah kalian yang kini sama-sama di tahanan polisi. Untuk itu saya mohon kerelaan kalian untuk memaafkan poapa kalian dan sekarang juga rame-rame menjenguk papa kalian di Polsek!” pinta Aba.
Sebelum kami lama melamun, Kak Muti langsung mengajak kami pergi menjenguk papa. Bersama Aba, kami pergi ke Polsek. Kami sangat terkejut begitu bertemu papa. Papa langsung memeluk kami dan menangis. Kami menciumi pipi kami satu persatu dan meminta maaf. Kami juga memaafkan. Papa sebenarnya tridak tahu apa yang terjadi selama ini. Dia tidak ingat bahwa dia mengusir kami, membentak kami dan menantang kami. Bahkan papa juga tidak ingta bahwa dia terlibat affair yang tak wajar pada Bu Nasa. Papa minta maaf setelah Aba cerita banyak hal yang diketahuinya secara kebatinan. Kami tidak berceriat soal kami, tapi dengan ilmu waskita nya, Aba mengetahui tentang banyak hal yang sedikit kami ceritakan.
Saat bersamaan, Bu Nasa juga meminta maaf dan tidak tahu tentang apa yang telah diperbuatnya. Bu Nasa juga diterangkan Aba bahwa telah mengalami santet yang sama. Santet Benga yang sangat sumir tapi mengerikan itu. “Pembuat santet itu menyantet dua orang bertetangga agar melakukan perbuatan bejat. Dia berhasil, di mana Bu Nasa dan papa kalian benar-benar berbuat bejat dan kehilangan rasa malu. Ini adalah santet gaya baru yang bakal ramai dilakukan oleh penjahat-penjahat mistik. Santet Benga adalah santet bikin malu. Kalau dulu santet membunuh, sekarang santet bikin malu. Padahal, Bu Nasa dan papa kalian tidak punya niat untu melakukan hal memalukan itu. Otak mereka dirusak dan ingatan pun dikomando setan dan kekuatan jin jahat yang dikirim membenam dalam otak mereka. Alhamdulillah, jin kapir itu sudah pergi dan Bu nasa serta papa kalian kembali sadar!” terang Aba, panjang lebar.
Kasus itu langsung dicabut. Bu Nasa kembali pada suami dan anak-anak serta papa pun begitu. Kami kembali ke rumah, berkumpul sama papa, hidup damai dan tenteram serta jauh dari masalah. Bu Nasa juga begitu. Hubungan kami pulih secara total dan seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu, antara keluarga kami dan keluarga Bu Nasa. Sedang penyantet yang jahat itu, kata Aba, meninggal ditabrak kereta api di persimpangan Maos, Tegal, Jawa Tengah. “Kematian tukang santet selalu tragis dan dia harus menerima hukuman dunia dari Allah seperti itu!” tutup Aba.
0 Response to "Misteri Santet Benga, Santet Perusak Rumah Tangga"