Taman Wilhelmina yang kini menjadi area Masjid Istiqlal, Jakarta.
Infometafisik - Dahi lelaki tua itu kian berkerut ketika diminta mengingat sesuatu dari masa silam. Pandangan matanya tak jelas arah, tampak ia berusaha keras memanggil kembali sejumlah kenangan. Sesekali dia mengusap rambutnya yang memutih.
Ada rentang waktu yang cukup lama memang. Sumantri, lelaki bertubuh kurus itu, kini usianya 75 tahun. Dia mulai memanggil kembali kepingan masa lalu itu, Tatkala Sumantri baru pertama menginjakkan kaki di Perumahan Angkasa Pura, rumah sederhana yang dihuninya hingga kini. “Waktu itu daerah sini masih rawa-rawa,” ujarnya.
Soal kepastian tahun, memang agak luput dari memorinya. Namun bagaimana kehidupan yang ia jalani, Sumantri masih ingat betul.
Pada 1963, ia pertama kali datang ke Kemayoran, saat baru lulus dari Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) di Curug. Sumantri didapuk bekerja di Bandara Kemayoran sebagai teknisi radio komunikasi. Saat itu Bandara Kemayoran masih beroperasi.
Sebagai teknisi radio, ia juga bertugas menjaga alat-alat komunikasi di bandara. Tak jarang ia harus berjaga 24 jam. Ia pun menceritakan pengalamannya bekerja saat itu.
“Dinas (kantor) saya di tengah alang-alang. Ada pintu kawat, keluar masuknya dijaga. Kalau malam, masih banyak binatang berkeliaran. Kita bisa lihat celeng (babi hutan). Banyak, kira-kira lima ekor. Sampai kita nggak bisa keluar,” ujarnya.
Meski suasananya masih seperti ‘hutan’, Kemayoran adalah bandara komersil pertama di Indonesia. Bahkan saat itu, Malaysia pun belum memilikinya. Fungsinya seperti karpet merah. Setiap tamu yang ingin menginjakkan kaki di ibu kota, harus melalui Kemayoran.
Bandara sudah dibangun sejak Indonesia belum merdeka, tahun 1934. Menurut Alwi Shahab seorang ahli sejarah Betawi, Belanda punya dua opsi saat membangun bandara di Jakarta. Kebayoran atau Kemayoran.
“Akhirnya dipilih Kemayoran,” katanya.
Nama Kemayoran sendiri diambil dari derajat tertinggi dalam masyarakat China. Untuk membangun suatu daerah, pemerintah Belanda saat itu membutuhkan pemimpin. Saat itu, di daerah Kemayoran banyak tinggal orang China. Pangkat tertinggi untuk mereka adalah mayor.
“Konon, Kemayoran berasal dari kata ‘mayor’ dalam masyarakat China. Bagi mereka, mayor perannya seperti kepala suku,” Alwi menjelaskan.
Namun, mayor yang dimaksud bukanlah pangkat dalam militer. Itu merupakan gelar kehormatan bagi mereka yang bersikap baik.
Kemayoran juga punya sejarah lain. Disebutkan, dahulu banyak pejabat militer berpangkat mayor yang tinggal di sana. Mereka ditempatkan oleh Belanda dalam asrama yang dibangun di sepanjang Jalan Garuda. Ada yang menyebutkan, itulah asal nama Kemayoran.
Bagaimanapun juga, pada akhirnya Bandara Kemayoran resmi dioperasikan pada 8 Juli 1940. Ia menjadi saksi bisu sejarah dirgantara nusantara. Berbagai pesawat canggih dan tetamu dunia pernah ‘mampir’ di sana.
Pesawat pertama yang mendarat di sana adalah DC-3 Dakota milik penerbangan Hindia Belanda. Setelah itu, pesawat bermesin piston hingga turbojet bergantian ‘mengunjungi’ Bandara Kemayoran. Ia bahkan pernah menjadi tuan rumah airshow pertama di Indonesia.
Sekitar 40 negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 juga melalui Bandara Kemayoran. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno selalu melewatinya setiap akan melakukan tugas negara. Bandara ini bahkan pernah muncul dalam komik Tintin.
Jelas saja, kapasitas Bandara Kemayoran sudah terhitung cukup besar dan modern kala itu. Luasnya lebih dari 40 hektar. Di bagian atas gedung bandara, ada sebuah tempat hiburan malam yang terkenal. “Orang berduit waktu itu, kalau cari hiburan ke sana,” ujar Alwi bercerita.
Sayang, Bandara Kemayoran harus ditutup secara resmi pada 1 Juni 1984. Saat itu, ia sudah berhenti beroperasi lebih dari setahun lamanya. Seluruh operasional bandara dipindahkan ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Alasannya, kata Alwi, karena bandara di Kemayoran tak bisa berkembang lagi.
“Di situ banyak rumah penduduk. Ada pertimbangan keamanan juga,” ujarnya. Selain lahan yang tidak memungkinkan untuk perluasan, pemerintah juga khawatir pesawat yang akan mendarat terbang terlalu rendah. Tepat di atas atap rumah penduduk. Alasan itu juga dibenarkan Sumantri.
Kini, kegagahan Bandara Kemayoran tinggal sisa-sisa saja. Gedung bandara direnovasi menjadi PRJ yang tiap tahun dijadikan arena pesta warga Jakarta. “JIExpo, Hypermart, itu dulunya bangunan bandara,” kata Sumantri menyebutkan. Pasar Mobil Kemayoran pun termasuk lahan bandara.
Di depan JIExpo, masih tampak menara yang menjadi salah satu bukti eksistensi Bandara Kemayoran. Sayang, sudah tak terawat. Sekitarnya ditumbuhi ilalang. Yang masih terlihat jelas hanyalah landasan pacu bandara yang kini dilalui berbagai macam kendaraan. Namanya berganti menjadi Jalan Benyamin Sueb. Nama itu diambil dari tokoh lawak Benyamin yang memang asli Kemayoran.
“Bekas landasan itu dijadikan jalan, dibangun terus sampai tol. Makanya jalannya kuat, kekar. Dulunya dilewati pesawat,” ucap Sumantri lagi. Kini, kanan-kiri jalanan itu adalah gedung-gedung dan lapangan golf. Sebagai bukti, ada halte bus Transjakarta yang jelas-jelas bernama ‘Halte Landasan Pacu Timur’.
Kemayoran kini memang jadi kawasan padat penduduk. Perumahan Angkasa Pura bukan lagi satu-satunya. Rekan-rekan kerja Sumantri pun sudah banyak yang pindah. Rumah mereka dijual ke pihak lain.
Sumantri dan istrinya memutuskan tetap tinggal karena mereka masih ingin menjadi bagian dari sejarah Bandara Kemayoran. Sementara ketiga anak mereka sudah berkeluarga. Sumantri sama sekali tak berniat memugar rumahnya.
Bangunannya masih ‘bergaya lama’. Atapnya rendah. Pagarnya pendek dan tak terkunci. Tak ada kesan angkuh. Kini, Sumantri dan istrinya bisa dibilang satu dari sedikit penduduk asli yang masih tinggal di komplek perumahan Angkasa Pura itu. Saksi hidup berdirinya Bandara Kemayoran.
Dari Taman Wilhemina ke Masjid Istiqlal
Bandara Kemayoran bukan satu-satunya sejarah Jakarta yang nyaris terlupa. Masih ada Taman Wilhelmina, yang wujudnya kini tak tampak lagi karena sudah tergantikan Masjid Istiqlal. Kalau sekarang masjid itu disebut-sebut terbesar se-Asia Tenggara, bisa dibayangkan betapa luasnya taman itu dulu.
Di Taman Wilhelmina, berdiri sebuah benteng Belanda. Seperti ditulis Alwi Shahab dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi, taman dibangun untuk mengabadikan pengangkatan Ratu Wilhelmina sebagai ratu Belanda pada 1898. Saat Indonesia merdeka, namanya berganti menjadi Taman Wijaya Kusuma.
Konon, di Taman Wijaya Kusuma juga ada bunker. Menurut Alwi, orang Betawi menyebutnya ‘gedung tanah’. Istilah itu bisa dipahami karena JP Coen pernah membangun benteng VOC di sana. Di dalamnya ada terowongan bawah tanah dan kamar-kamar. Bangunannya terbuat dari beton. Sangat kokoh.
Benteng itu terletak di dekat gardu satpam masjid Istiqlal sekarang. Terowongan bawah tanahnya berjarak 12 km, terbentang sampai ke benteng VOC di Pasar Ikan. Ada pula satu terowongan lain ke arah Berland atau Matraman. Dulunya, Berland pernah jadi pusat militer Belanda.
Setelah berpindah tangan ke pemerintah Indonesia, Taman Wijaya Kusuma tetap berfungsi sebagai pusat rekreasi warga Jakarta. Suasananya sejuk dan rimbun. Banyak pohon kenari berdaun lebat. Setiap Minggu, warga berdatangan untuk berjalan-jalan ke sana.
Adanya benteng di taman itu, masih ditandai dengan patung Dewi Yunani yang berdiri di atas tugu setinggi 15 meter. Sayang, umur taman itu hanya beberapa tahun. Seiring dengan makin menjamurnya tempat hiburan lain di Jakarta, Taman Wijaya Kusuma terlupakan. Ia tak terurus.
Sekitar tahun 1950, muncul ide pembangunan sebuah pusat ibadah agama Islam. “Sebagai rasa syukur karena Indonesia sudah merdeka, masjid itu akan dinamakan Istiqlal. Artinya kemerdekaan,” ucap Alwi menjelaskan.
Sempat ada dua opsi. Bung Karno ingin di Taman Wijaya Kusuma, sedangkan Bung Hatta di Bundaran Hotel Indonesia. Opsi pertama yang akhirnya dipilih. Pasalnya, Bung Karno bercita-cita memamerkan kemegahan Istiqlal pada tetamu dari daerah luar Jakarta yang akan mendarat di Bandara Kemayoran.
Pembangunan pun dimulai pada 24 Agustus 1961. Ternyata, merobohkan benteng Belanda tak semudah dibayangkan. Ia begitu kokoh, sampai membutuhkan waktu sekira satu setengah tahun. Buku Saudagar Baghdad dari Betawi juga menyebutkan, perobohan benteng membutuhkan dinamit.
“Saat benteng dibongkar dengan dinamit, kaca-kaca gedung di sekitar sini banyak yang retak,” kata seorang pelayan Restoran Ragusa Es Italia, seperti dikutip dari buku yang sama. Kebetulan, posisi restoran itu berada di samping Istiqlal. Batasnya hanya Kali Ciliwung.
Setelah tujuh belas tahun pembangunan, akhirnya Masjid Istiqlal diresmikan pada 22 Februari 1978. Pembangunan itu menelan banyak biaya, sampai miliaran rupiah. Yang menarik, pemenang sayembara desain yang akhirnya menjadi arsitek bangunan itu adalah Fredrerich Silaban, seorang Kristen Protestan.
Masjid itu kini menjadi kebanggaan Indonesia. Keputusan Bung Karno menyulap taman menjadi tempat ibadah bisa dibilang tepat. Menurut Alwi, masyarakat tidak merasa kehilangan tempat rekreasi karena pembangunan itu.
Kini, Taman Wilhelmina alias Taman Wijaya Kusuma mungkin menjelma dalam taman-taman indah di Jakarta. Wujudnya seperti Taman Suropati atau Taman Menteng. “Tapi lebih bagus Wilhelmina, lebih besar,” ucap Alwi sambil mengenang masa kecilnya yang pernah bermain di sana bersama orangtua.
0 Response to "Menyingkap Misteri Dua Sudut Sejarah Jakarta yang Terlupa"