Jiwa dan Roh Manusia itu Beda atau Sama?


Infometafisik.com - Pada awal bulan lalu, Oktober 2013, ada teman dari Bogor yang datang ke Semarang mengajak omong-omong tentang pembuatan tepung Mocaf, yaitu tepung pengganti terigu yang dibuat dari singkong. Dia berencana mendirikan pabrik Mocaf di Sumatera, makanya dia mau datang ke Semarang meluangkan waktu untuk berdiskusi tentang teknis pembuatannya. Saya pikir rencana ini bagus, karena kalau nantinya bisa berhasil, maka pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan banyak devisa untuk memenuhi kebutuhan terigu dalam negeri, tetapi ada sebagian kebutuhan terigu yang bisa disubstitusi Mocaf yang merupakan produk dalam negeri.

Tetapi, sesuai dengan judul di atas, tulisan ini tidak akan membahas tentang tepung Mocaf.

Setelah dirasa cukup omong-omong tentang tepung Mocaf, teman dari Bogor tersebut mengajak membicarakan beberapa hal lain-lain. Salah satu yang serius ditanyakan adalah: “Apakah Roh dan Jiwa manusia itu sama? atau beda?

Spontan saya menjawab: “Tergantung siapa yang mengatakannya, ada pihak yang mengatakan sama, tetapi ada juga pihak yang mengatakan beda.”

Dia penasaran, bertanya lagi: “Lho gimana sih, jawabannya kok begitu? Kurang jelas!”

Saya jawab: “Iya pak, memang seperti itu kenyataannya.”

Coba kita simak syair lagu Padamu Negeri bagian terakhir, begini lyriknya: ‘… bagimu negeri jiwa raga kami.’ Sedangkan pada saat lebaran masyarakat saling berjabat-tangan dan berkata: ‘… mohon maaf lahir dan bathin.’ Tetapi kalau kita membaca lowongan kerja biasanya tertulis: ‘… dibutuhkan karyawan yang sehat jasmani dan rohani.’

Sepertinya unsur manusia itu hanya ada 2 (dua), yaitu jiwa – raga, atau lahir – bathin, atau jasmani – rohani. Kalau dalam konteks ini, jiwa = bathin = rohani.

Namun, bagi mereka yang memahami meditasmeditasii, akan mengatakan bahwa unsur manusia itu ada 3 (tiga), ketiganya perlu diselaraskan dengan denyut semesta secara bersamaan pada saat melakukan meditasi. Tiga unsur tersebut adalah: tubuh, pikiran dan nafas. Pemahaman ini sejajar dengan pemahaman para tokoh spiritual yang mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Yang selanjutnya dijabarkan lagi bahwa jiwa manusia terdiri dari 3 (tiga) unsur juga, yaitu: cipta, rasa, dan karsa; atau dengan bahasa sehari-hari: pikiran, perasaan dan kemauan/keinginan.

Itulah maksud saya bahwa jiwa dan roh itu menurut satu pihak bisa dikatakan: sama, tetapi menurut pihak yang lain: beda.


Khususnya dalam pemahaman pihak yang mengatakan bah23414762wa jiwa dan roh itu berbeda, saya bisa membantu untuk menjabarkannya. Begini cara yang mudah untuk memahaminya.

Tentang Jiwa. Kita mulai dari pikiran (cipta). Pada saat kita menghitung uang untuk membeli bahan bakar, membeli beras, membayar biaya sekolah termasuk uang saku anak sekolah, dll. ini contoh kita menggunakan pikiran, dengan otak kiri. Sedangkan otak kanan kita pakai contohnya pada saat kita membuat lukisan pemandangan, atau memainkan alat musik, atau menyanyi yang bagus tidak fales, dll.

Saat kita merasa takut, sedih, kecewa, iri, dengki, dukacita, marah, gembira, sukacita, bersyukur, iba, bahagia, dll. ini contoh kita menggunakan perasaan (rasa).

Dan, kemauan/keinginan (karsa) sering kali berkaitan dengan apa yang kita harapkan dapat kita raih pada hari esok, misalnya: naik kelas, lulus sekolah, memiliki pekerjaan, menemukan jodoh, selalu awet muda, menjadi presiden, dll.

Ketiga hal tersebut merupakan unsur-unsur jiwa. Bila ada seseorang yang menggunakan cipta, rasa dan karsa dengan tidak mengikuti kaidah-kaidah dan etika yang berlaku di masyarakat di mana dia berada, orang ini biasanya disebut sedang mengalami gangguan jiwa, atau istilah lainnya owah pikire.

Tentang Roh. Ketiga unsur jiwa tersebut  tidak sama dengan roh. Kita bisa mengenal bahwa di dalam diri kita ada roh, tetapi kita tidak bisa akses kepada roh tersebut dengan menggunakan Panca Indera. Kalau mau mengetahui bagaimana roh manusia, bisa saya bantu.

Begini caranya: kita mulai dari pemahaman bahwa kita bisa mengenali atau mendeteksi dunia ini karena di tubuh kita ada detektor atau sensor yang bisa menangkap sinyal-sinyal dari dunia di sekitar kita. Detektor/sensor yang kita punya ada 5 (lima), dinamakan Panca Indera, ada mata, telinga, hidung, lidah dan kulit.

Mata untuk mendeteksi terang, gelap, dan berpanca_indrabagai perbedaan/paduan warna. Telinga untuk mendeteksi suara. Hidung untuk mendeteksi bau, misalnya bisa untuk mebedakan antara bau parfum dan keringat. Lidah untuk mendeteksi rasa: manis, asin, masam, pahit, dll. Serta, kulit untuk mendeteksi benda-benda atau hal-hal lainnya yang ada di sekitar kita.

Ini baru introduksi, belum membicarakan roh. Mari kita lanjutkan.

Kalau kita perhatikan orang-orang di sekitar, ada orang yang sejak lahir tidak bisa melihat, atau buta. Dia tidak bisa membedakan antara terang, gelap, dan berbagai paduan warna sejak lahir, tetapi dia hidup. Dia hidup hanya dengan 4 (empat) indera. Selain itu, ada orang lain lagi yang sejak lahir tuli, alias tidak bisa mendengar. Biasanya orang yang tuli sejak lahir ketika dewasa menjadi bisu. Dia tidak bisa mendeteksi suara. Orang ini juga hidup hanya dengan 4 (empat) indera. Gambaran ini untuk menunjukkan bahwa manusia masih tetap bisa hidup walau ada indera yang tidak berfungsi.

Sebenarnya di sekitar kita masih banyak getaran-getaran yang lain, tetapi karena tubuh kita tidak punya detektor/sensor yang lain selain panca indera maka kita tidak mengetahui. Getaran-getaran yang lain itu antara lain: gelombang radio, gelombang hp. dll. Kalau mau coba, silakan menyalakan atau meng-on-kan radio di mana pun kita berada, kalau ada pemancar radio yang sedang siaran nanti akan terdeteksi. 

Tetapi mungkin juga ada getaran-getaran yang lain yang sama sekali belum ada di kerangka pikirkan kita, misalnya: getaran komunikasi antara tumbuhan dengan tumbuhan, tumbuhan dengan binatang, binatang dengan binatang, atau binatang dengan gerakan permukaan bumi, atau getaran komunikasi antara binatang dengan makhluk dari luar angkasa, atau mungkin masih banyak getaran yang lain, yang belum bisa di-nalar dengan pikiran manusia saat ini.

Mari kita mulai untuk mendeteksi roh kita sendiri.

Sekarang dengarkan baik-baik. Duduklah dengan rileks. Sekali lagi: rileks. Tutup mata. Dengarkan kata-kata saya. Bayangkan di dalam tubuh anda ada sekaklar on/off atau sekaklar mati/nyala untuk kelima indera anda. Sekarang bayangkan sekaklar indera mata anda dalam posisi off, tetapi anda masih hidup. Selanjutnya sekaklar indera hidung di-off-kan, anda tetap masih hidup. Kemudian sekaklar indera lidah juga di-off-kan, dalam kondisi anda tetap hidup. Selanjutnya sekaklar indera kulit juga di-off-kan, anda tetap hidup. Dan yang terakhir, sekaklar indera telinga di-off-kan. Rasakan semua indera anda off, dalam kondisi anda masih hidup dan bisa mendengarkan hanya suara saya. Dalam kondisi seperti itu saya bertanya: “Di manakah anda saat ini?”

Sekarang sekaklar kelima indera di-on-kan semua, atau dinyalakan semua. Dan bukalah mata anda perlahan-lahan. Kalau sudah siap, silakan menjawab.

Kalau jawaban anda: “Tidak tahu,” itu artinya anda sudah bertemu dengan kehidupan yang sejati atau roh manusia. Iya benar, itulah roh manusia. Kalau orang jawa mengatakan: “Sejatine urip iki ora ono opo-opo.” Jadi diri kita yang sebenarnya adalah roh kita: “kosong.” Roh kita tidak sama dengan jiwa kita: cipta, rasa, dan karsa.

Walau begitu, justru di dalam kekosongan, atau di dalam ora ono opo-opo, itulah awal dari segala penciptaan. Roh kita itulah semberdaya yang luar biasa, tanpa batas, mempunyai daya yang tidak terhingga. Roh kita ini merupakan sumber untuk semua solusi dari berbagai persoalan yang kita hadapi.

Apalah artinya kita hidup mempunyai banyak harta, tetapi setiap hari dikejar-kejar kredit yang jatuh tempo dan perusahaan selalu bermasalah di sektor produksi dan pemasaran, tanpa ada solusi yang jitu. Atau apalah artinya menjadi Bupati, tetapi selalu terbelenggu oleh berbagai permasalahan korupsi, moral, dll. tanpa bisa menyelesaikannya. Atau apalah artinya terpilih menjadi Presiden, tetapi dikelilingi oleh beberapa menteri (dan banyak pejabat) yang terlibat korupsi, dan negara dilanda berbagai bencana alam, mulai dari puting beliung, banjir, kebakaran, gempa bumi, tanah longsor hingga berbagai kecelakaan angkutan darat, laut dan udara, tetapi tidak mempunyai jalan keluar yang bisa diandalkan. Kalau kita bisa berfikir sehat, keadaan seperti itu bukannya membanggakan, tetapi malah memalukan. 

Orang yang paling berbahagia di dunia ini sebenarnya bukanlah orang yang kaya raya atau mempunyai jabatan yang sangat tinggi. Orang yang paling berbahagia di dunia sebenarnya adalah mereka yang selalu mempunyai solusi untuk berbagai persoalan yang sedang mereka hadapi.

Ada puisi dari Mundaka Upanishad begini:
Laksana dua burung emas yangbertengger di dahan yang samasang ego dan sang Diriberdiam dalam badan yang sama.Yang satu mereguk kenikmatan danmenawarkan masamnya pohon kehidupan,sementara yang satunya mengamati menjaga jarakMundaka Upanishad
Dalam puisi tersebut yang disebut sang ego adalah ego kita yang dipengaruhi oleh panca indera, sedangkan sang Diri adalah roh kita yang keberadaannya tidak ada kaitannya dengan panca indera. Sang Diri digambarkan seperti bayi yang baru lahir: hanya mengamati dan menjaga jarak.

Mengenai sang Diri, walau dikatakan hanya mengamati dan menjaga jarak, sang Diri senantiasa berkomunikasi dengan pikiran kita. Kita bisa menangkap sinyal getaran dari sang Diri bukan dengan menggunakan sensor panca indera, tetapi ada sensor yang lain, yang mendominasi otak kanan kita, yaitu: intuisi, atau suara hati, atau hati nurani, atau wahyu, atau wangsit. Semakin kita terbiasa menggunakan intuisi akan semakin mudah kita menangkap berbagai sinyal dari sang Diri alias roh kita sendiri.

Tetapi sayang, kompetensi untuk menggunakan intuisi ini sering kali tidak diajarkan atau dipelajari di dalam pendidikan formal, non-formal maupun informal. Maka, tidak perlu heran kalau banyak orang yang berpendidikan tinggi, atau berpangkat tinggi, atau berjabatan tinggi hidupnya keblinger, justru mereka inilah yang menjadi dalang tindak kejahatan korupsi, atau dalang kejahatan-kejahatan yang lainnya.

Agar kita tidak ikut-ikutan keblinger, ikuti anjuran dari Bill Gates berikut ini:
“Often you have to rely on your intuition. –Sering kali Anda harus bersandar pada intuisi Anda.”                                                                     Bill Gates
Begitulah cara yang simpel bagi kita untuk mengetahui dan membedakan antara jiwa dan roh.

Setelah saya rasa sudah cukup dalam bercerita, saya kembali bertanya kepada teman yang dari Bogor: “Bagaimana pak, apa bisa difahami?”

Dia menjawab: “Belum. Saya merasa sedang terbang tinggi entah di mana. Baru kali ini saya bisa merasakan bahwa ternyata hidup saya selama ini belum ada yang bisa saya banggakan. Semuanya serba nisbi.”

Kemudian saya menjawab: “Kalau masih perlu perenungan lebih lanjut, tidak apa-apa pak. Silakan.” Kemudian saya tambahi: “Sebenarnya yang paling penting dalam hidup ini bukan membedakan antara jiwa dan roh, tetapi mengerjakan berbagai amal dan karya yang bermanfaat untuk memperbaiki kehidupan. Kita perlu selalu bertanya: ‘Sudahkah kita memberi kontribusi yang signifikan kepada kehidupan ini agar bisa semakin lebih baik?’ Jawaban pertanyaan inilah yang paling penting untuk hidup kita.”

Jawab teman saya: “O, begitu ya.” Sambil matanya menerawang melihat dinding tanpa fokus.

0 Response to "Jiwa dan Roh Manusia itu Beda atau Sama?"